Wednesday, October 7, 2009

Elephants Attack Villagers’ Homes


Finally our Press release in English !!


Elephants Attack Villagers’ Homes

Tuesday, 29 September, 2009 | 13:59 WIB
TEMPO InteractiveJambi:Scores of Sumatran elephants attacked the homes of villagers in the Tebo, Jambi and Indragirihulu, Riau border area. The attacks, lasting for a week, killed two people. Meanwhile, more than five permanent homes as well as hectares of rubber and palm oil plantations belonging to the local people were also damaged.

“Most of the locals took refuge outside the village out of fear,” Nanti, 44, from Cinaku, Indragirihulu, said in a press release by the Frankfurt Zoological Society which Tempo received yesterday. So far, no authorities or officials were seen at the scene to protect the villagers from the elephant attack.

Based on the Wildlife Protection Unit’s observation, the Sumatran elephants are included in the species belonging to the Riau elephants group. This group is often seen in the area once belonging to the PT Industries et Forest Asiatiques’ production forest, which was also the elephants’ habitat because of its sloped topography and the availability of abundant food sources.

However, the government changed the elephants’ migration route - located in the Bukit Tigapuluh National Park’s conservation area – into a transmigration and industrial plantation site some years ago.


SYAIPUL BAKHORI


Serangan Gajah Terus Berlanjut, Sebagian Warga Mengungsi
Serangan puluhan gajah sumatera di areal pemukiman di perbatasan Kabupaten Tebo, Jambi dan Kabupaten Indragiri Hulu, Riau, terus berlanjut. Satu rumah warga Desa Seranggeh, Kecamatan Peranap, Indragiri Hulu, Riau rusak akibat amukan gajah, Minggu (28/9) malam. Konflik gajah dan manusia yang telah berlangsung lebih dari sepekan ini menyebabkan dua warga tewas, lebih dari lima rumah permanen serta puluhan hektar kebun karet dan sawit masyarakat hancur. Sebagian warga terpaksa mengungsi untuk menyelamatkan diri.
            “Semalam saya sedang bersilaturahmi ke rumah paman di Seranggeh, saya melihat banyak kotoran gajah di jalan poros. Kebun karet dan sawit warga di sepanjang jalan juga banyak yang dirusak. Bahkan, sebagian warga terpaksa mengungsi ke luar desa karena ketakutan,” ujar Nanti (44) warga Cinaku, Indragiri Hulu. Hingga semalam belum ada aparat berwenang yang turun ke lokasi untuk mengamankan warga dari amukan gajah.
            Kepala Dusun Seranggeh Tapa menyatakan tewasnya dua warga tersebut terjadi sehari sebelum dan setelah Lebaran. Desa Seranggeh sebenarnya sudah rutin diserang gajah namun pada tahun-tahun sebelumnya  gajah masih bisa diusir keluar desa.
            Berdasarkan pantauan Wildilife Protection Unit (WPU), unit kerjasama Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Jambi dan Frankfurt Zoological Society (FZS), kawanan gajah sumatera (elephas maximus sumatranus) ini termasuk dalam kelompok gajah Riau. Kelompok ini terpantau sering berada di areal eks hutan produksi PT Industries et Forest Asiatiques (IFA) yang merupakan habitat gajah karena topografinya yang landai dan banyak sumber makanan.
Namun, pemerintah mengubah jalur perlintasan gajah yang terletak di kawasan penyangga Taman Nasional Bukit Tigapuluh (TNBT) ini menjadi lokasi transmigrasi dan hutan tanaman industri (HTI) kepada PT Tebo Mandiri Agro (TMA) di bawah bendera perusahaan Sinar Mas Group untuk diubah menjadi tanaman monokultur yaitu ekaliptus dan akasia.
 Hampir seluruh jalur lintasan gajah kini sudah berubah menjadi pemukiman dan perkebunan. Penduduk menanami area tersebut dengan tanaman karet dan sawit. Pada saat kawasan eks PT IFA ini dibuka, gajah-gajah sempat menghilang selama tiga tahun. Namun, ketika tanaman sawit mulai tumbuh, gajah kembali melintas. Gajah keluar dari hutan produksi eks PT IFA di bagian utara, menuju perbatasan hutan hingga ke perkebunan sawit. Pucuk-pucuk sawit muda yang tingginya belum sampai dua meter menjadi makanan favoritnya.
            Konflik satwa liar dengan manusia adalah buah dari kecerobohan pemerintah dalam mengeluarkan izin pengelolaan hutan. Krismanko Padang, counterpart FZS-BKSDA Jambi menyatakan aspek ekologi mutlak diperhatikan dalam menentukan peruntukan suatu kawasan hutan.
            “Untuk mencegah konflik terulang, pemerintah harus mengalokasikan suatu kawasan khusus untuk gajah sumatera. Masih ada hutan alam di Blok Punti Anai dan eks PT IFA, perbatasan Kabupaten INHU Riau dan Kabupaten Tebo, Jambi yang kondisinya cocok untuk habitat gajah,” ujar Krismanko. Jika area ini dikembangkan maka dapat menjadi penghubung antara koridor TNBT dan Taman Nasional Tesso Nilo.
            Bila dibiarkan berlarut-larut, dikhawatirkan korban di kedua belah pihak terus berjatuhan. Gajah sumatera yang merupakan sub-spesies gajah asia ini hanya tinggal di Pulau Sumatera dan kini jumlahnya kurang dari 3.000 ekor dan lebih kurang 120 ekor di blok bukit Tigapuluh. Sebagian besar gajah sumatera mati dibunuh oleh manusia dengan berbagai cara. Pembukaan hutan secara agresif untuk perkebunan telah merenggut 80 persen habitat gajah sumatera.  




Talang Mamak Ethnic Group Involve in Sumateran Orangutan Reintroduction Programme

Draft Rilis September 2009
Pelestarian Orangutan Sumatera Libatkan Suku Talang Mamak
Suku Talang Mamak, salah satu suku terasing yang tinggal di kawan Bukit Tigapuluh, Jambi, menjadi  ujung tombak dalam menjaga kelestarian orangutan sumatera (Pongo abelii). Mereka dilibatkan dalam mengasuh orangutan pada tahap adaptasi sebelum akhirnya dilepasliarkan.
Manajer Stasiun Reintroduksi Orangutan Sumatera Julius Paolo Siregar, Selasa (9/9), menyatakan warga Talang Mamak yang bekerja baik sebagai staf maupun pekerja harian jumlahnya lebih banyak dibandingkan pekerja pendatang.
“Saat ini ada sekitar sepuluh warga Talang Mamak yang bekerja menjadi pengasuh orangutan. Mereka bertugas menjaga dan mengajari orangutan untuk dapat hidup mandiri sebelum dilepasliarkan,” tutur Julius.
Julius menjelaskan pada tahap adaptasi orangutan diajari untuk dapat mencari sendiri makanan di dalam hutan, seperti berbagai jenis buah-buahan, daun, dan serangga seperti rayap. Selain itu orangutan juga diajari untuk membuat sarang di atas pohon.  Orangutan yang menjalani program reintroduksi adalah orangutan yang sebelumnya pernah hidup bersama manusia sehingga kehilangan kemampuan untuk hidup di alam liar.
Iskandar (25), salah satu keturunan Suku Talang Mamak yang telah empat tahun menjadi pengasuh orangutan menyatakan diperlukan kesabaran tinggi untuk menjaga orangutan. “Saya menjaga orangutan mulai dari pukul 06.00 hingga pukul 18.30 setiap harinya. Semakin baik kemampuan adaptasinya semakin cepat pula dilepasliarkan,” ucap dia. Iskandar bertugas menjaga Temara, orangutan sumatera betina dewasa yang dilahirkan di Perth Zoo, Australia.
Tanggungjawab yang dipikul Iskandar cukup besar karena orangutan yang dijaga tidak boleh sampai hilang. Orangutan yang belum memiliki kemampuan mandiri, kemungkinan mati di alam liar cukup tinggi. “Orangutan bisa mati kelaparan karena belum tahu makanan hutan yang bisa dimanfaatkan. Dulu  saya pernah juga kehilangan orangutan, harus saya cari sampai dapat. Untung seminggu kemudian ketemu,” kenang Iskandar.
Stasiun Reintroduksi Orangutan Sumatera yang dikelola Frankfurt Zoological Society (FZS) terletak di Dusun Semerantihan, Desa Suo-suo, Kecamatan Sumay, Kabupaten Tebo di kawasan penyangga Taman Nasional Bukit Tigapuluh (TNBT). Pusat reintroduksi orangutan sumatera, satu-satunya di Indonesia ini sudah berjalan sejak 2002. Hingga pertengahan tahun ini, FZS telah menerima 121 ekor orangutan dan 108 ekor diantaranya sudah dilepasliarkan di areal stasiun dan TNBT.
Menolak HTI
Mardan (45), warga Talang Mamak generasi kedua yang tinggal di Dusun Semerantihan, memiliki enam anak dan tiga diantaranya bekerja sebagai pengasuh orangutan. Penghasilan anak-anaknya itu sangat membantu untuk memenuhi kebutuhan keluarga.
Mardan menyatakan orangutan merupakan satwa yang sudah seharusnya dilindungi. “Pernah warga kami di Riau bertemu dengan orangutan, langsung kami lapor ke stasiun. Dalam sosialisasi selama ini kami juga sudah mengerti bagaimana cara menghadapi orangutan bila kebetulan berada di _ading atau pondok kami.”
Keberadaan orangutan sumatera saat ini dalam ancaman serius seiring rencana pengalihan fungsi hutan. Menteri Kehutanan telah mencadangkan 52.000 hutan produksi menjadi hutan tanaman industri (HTI) sesuai Surat Keputusan Menhut nomor 777/Menhut-VI Tahun 2008. Dalam SK dinyatakan bahwa area yang dicadangkan menjadi HTI oleh PT Rimbah Hutani Mas di bawah manajemen Sinar Mas Group , adalah hutan eks HPH Dalek Hutani Esa seluas 33.776 hektar, eks HPH Hatma Hutani 8.587 hektar, eks HPH Limbah Kayu Utam a 6.441 hektar, dan eks HPH Gamasia Hutani 3.226 hektar.
FZS tegas menolak rencana ini karena stasiun reintroduksi orangutan berada di hutan eks-HPH Dalek Hutani Esa dan sangat dekat dengan areal rencana HTI. Hilangnya areal hutan sekitar stasiun secara telak menghilangkan sumber makanan bagi orangutan. Selain itu keberadaan warga Talang Mamak yang berjumlah lebih dari 40 keluarga di Dusun Semerantihan dipastikan tersingkir.
“Kami sudah mendengar berita rencana pembukaan HTI itu. Kami sangat tidak setuju karena hutan sumber penghidupan. Di mana lagi kami bisa berladang, mencari jernang, dan berburu hewan untuk makan. Kalau hutan dihilangkan sama saja menghilangkan kehidupan kami,” tegas Mardan.
*****

Murdered Sheila, Lack of government's commitment evidence

Another Frankfurt Zoological Society Press Release

Terbunuhnya Sheila, Bukti Lemahnya Komitmen Pemerintah

Dibunuhnya harimau sumatera (Panthera tigris sumatrae) bernama Sheila di Kebun Binatang Taman Rimbo Jambi membuktikan betapa lemahnya komitmen pemerintah dalam menjaga satwa liar yang dilindungi. Seperti diketahui, sekelompok orang meracun Sheila hingga mati untuk kemudian dikuliti, Sabtu (22/8) dini hari.
            “Satwa yang di depan mata saja bisa dibunuh apalagi satwa yang hidup di dalam hutan. Dalam hal menjaga populasi satwa liar yang terancam punah, bisa dibilang pemerintah sudah gagal,” tegas Krismanko Padang, SH dari Frankfurt Zoological Society (FZS), di Jambi, Senin (24/8).
            Harimau sumatera yang masuk dalam kategori satwa sangat terancam punah oleh International Union for Conservation of Nature and Natural Resources (IUCN) harus menjadi perhatian serius bagi pemerintah. Harimau tidak hanya menjadi milik Jambi atau Indonesia saja, tetapi sudah menjadi milik dunia karena kelangkaannya.
            “Peristiwa ini sudah mendapat sorotan dari pihak Australia. Kalau kita tidak mau ditertawakan orang, pihak penegak hukum harus bisa mengusut tuntas kejadian ini, menangkap otak pelaku dan mengganjarnya dengan hukuman setimpal,” ujar Krismanko.
            Dari segi infrastruktur, Kebun Binatang Taman Rimbo memang sangat tidak layak. Kandang untuk beruang saja hanya berukuran 1x1 meter. Belum lagi minimnya penerangan pada malam hari serta lemahnya sistem keamanan.
            Investasi awal untuk membangun sebuah kebun binatang memang tidak kecil. Harus ada komitmen bersama yang kuat untuk menjaga satwa-satwa liar yang dilindungi. Infrastruktur kebun binatang harus diperbaiki dan sumber daya manusia juga ditingkatkan.
            “Membangun kebun binatang harus dengan perencanaan matang, tidak bisa dilakukan secara parsial. Secara kelembagaan, kebun binatang harus dikelola oleh otoritas tersendiri di bawah gubernur langsung. Ini bertujuan jika diperlukan ekspansi maka akan mendapat dukungan secara penuh oleh pemerintah daerah,” ujar Krismanko.


****

Sumateran Orangutan in Serious Threat

This is our press release, it's in Indonesian, please use Google Translate :


Orangutan Sumatera Dalam Ancaman Serius

     Populasi orangutan sumatera (Pongo abelii) di Jambi dalam ancaman serius seiring rencana pembukaan hutan tanaman industri seluas lebih dari 30.000 hektar di areal eks hutan produksi PT Dalek Hutani Esa, di Dusun Semarantihan, Desa Suo-suo, Kecamatan Sumay, Kabupaten Tebo, Jambi. Lokasi ini sangat dekat dengan Stasiun Reintroduksi Orangutan Sumatera yang telah merehabilitasi 20-an ekor orangutan per tahunnya.
     Pimpinan Program Frankfurt Zoological Society (FZS) Peter Pratje, Minggu(23/8), menyatakan pembukaan HTI secara langsung akan menghilangkan seluruh potensi sumber daya alam yang ada. Langkah untuk melestarikan kembali populasi orangutan sumatera yang terus berkembang dalam delapan tahun ini juga akan sia-sia.
     “Selama ini kami telah melepasliarkan 108 orangutan di areal pelepasan seluas 200 hektar pada pinggiran Taman Nasional Bukit Tigapuluh (TNBT). Namun, karena daerah di TNBT curam maka orangutan ini lebih memilih untuk tinggal di areal eks-hutan produksi,” ujar Peter. Hutan produksi juga memiliki banyak tanaman buah-buahan yang menjadi sumber makanan utama orangutan sumatera. Tanaman buah ini kemungkinan sengaja tidak ditebang karena pengelola hutan produksi hanya mengambil jenis pohon-pohon keras.
     FZS juga memantau setidaknya ada tiga ekor bayi orangutan yang dilahirkan oleh induk yang telah dilepasliarkan. Ini menandakan hutan produksi tersebut merupakan lokasi yang cocok bagi primata endemik sumatera ini. Orangutan juga termasuk dalam hewan yang mempunyai kemampuan reproduksi rendah. Orangutan betina hanya mampu melahirkan tiga ekor anak selama masa hidupnya.
     Peter menegaskan pembukaan HTI tidak hanya mengancam keberadaan orangutan sumatera tetapi juga Taman Nasional Bukit Tigapuluh (TNBT) secara langsung. Ini dikarenakan karena perambahan, pemanfaatan kayu, serta sumber makanan bagi satwa liar banyak berada di areal hutan produksi. Komunitas suku terasing seperti warga Talang Mamak dan Suku Anak Dalam juga akan pindah ke TNBT  bila hutan produksi ini dialihfungsikan menjadi HTI.
     Manajer Stasiun Reintroduksi Orangutan Sumatera Julius Paolo Siregar menyatakan orangutan sumatera termasuk dalam kategori satwa yang terancam punah. Diperkirakan jumlah orangutan sumatera saat ini antara 6.000-7.000 ekor saja.
     “Dibandingkan dengan orangutan kalimantan, orangutan sumatera lebih rentan hidupnya. Bukan saja jumlahnya yang sedikit tetapi luas wilayah habitatnya juga sangat sedikit,” ujar Julius.
     Rencananya FZS akan kembali melepasliarkan sekitar 10 orangutan di pada bulan Oktober ini. Pada bulan ini hingga Januari diperkirakan sumber makanan dalam hutan sudah cukup seiring masa musim buah.



****

Kontak Personal :
Public Relation Officer FZS
L Andreas Sarwono (0813-285-70870)

Siak's Role in Riau's Economy

After publishing my own undergraduate final project, I have the permission from my dearest friend (Astisiasari Nataningratan) to publish our own journal. We wrote this journal just after we graduated from University of Indonesia, when we were unemployed waiting for employers' kindness to employ us, haha. It's just basic analysis of Siak's economy because we both frustatingly did not have much time to make this journal stand out in peer reviewed journal. 
Abstract

As an emerging economy, Indonesia must boost its each province’s various economic sectors. The aim of this research is to understand Siak’s role in Riau’s economy; and to propose planning based on the results of economic base and shift-share calculations. Mining and Quarrying sector was the only basic industry in the region. It was also the most competitive sector. Key words: economic development, location quotient, shift-share, Siak, Riau

Check this journal out in this mediafire link :
http://www.mediafire.com/?0nm3jzxzdo5
Please cited is as follow : Astisisasari & P. A. Iswanto. 2008. Siak’s Role in Riau’s Economy. Jurnal Alami- BPPT, 13 (3) (for page number please contact Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) in www.bppt.go.id
For you who do not have clue where, Siak Regency is, please refer to the map below, image copyright from Bakosurtanal.

NB : About my last undergraduate final project, if you can't figure it out what is written in Bahasa Indonesia, please feel free to contact me at this blog or you can use google translate at translate.google.com

Visitor Maps

Followers

MY Profile

Jambi, Jambi, Indonesia
Newbie in GIS and Remote Sensing World, want to share the new developments with the others

Traffic